FADIL
Tring... ring... ring... ting
|
Sms yang ditunggu-tunggu tak kunjung
muncul juga. Mau tidurpun rasanya nggak pulas. Sudah berhari-hari Rena
mengalaminya. Ingin rasanya Rena menatap wajahnya yang manis itu, rasa kangen
yang begitu besar di hati Rena. Tapi... gimana caranya? Fotonya aja nggak
punya, mau bertemu aja nggak tau dimana dia sekarang. Padahal mereka
bersebelahan.
Tring... ring... ring... ting...
Dibukanya lagi Hpnya, yang ada
hanyalah sms dari teman satu kelasnya. Teman yang selama ini pengganti dari
Fadil.
“Ren, kok kamu sekarang tidak
seceria yang dulu sih? Ya, maksudku... ceriamu itu terlalu dipaksakan! Apa mungkin...
kalau kamu nggak ceria maka keadaan sekitarmu juga nggak ceria. Apa itu isi
dari hatimu? Apa kamu nganggapnya gitu? Aku rasa itu salah Ren!” baca Rena
dalam hati.
Rena terdiam membaca kiriman sms
dari temannya itu. Rena merasa sms tersebut tak perlu dibalas. Karena jawaban
itu sebenarnya hanya untuk dirinya sendiri.
PUK!PUK!!
Tepuk Rena pada wajahnya. Dia
menghibur diri untuk selalu ceria tetapi ceritanya ini tidak ingin ia paksakan.
Buat apa berlarut-larut dalam kesedihan, toh nyatanya cuma bikin hatinya sakit.
Kalau kita emang bisa mencari informasi
dari mereka-mereka yang memang mengetahuinya! Hiburnya dalam hati.
“Kalau aku nggak berusaha, bisa-bisa
dia pergi duluan tanpa pamit denganku! Awas ya nanti! Kalau kamu mau pergi
nggak pamit-pamit dulu sama aku!” ancam Rena dengan wajah dan tangan yang ia
kepalkan lalu ia pukul-pukulkan ke telapak tangannya.
~o~
“Selamat pagi semua.” sapa kakak
Rena yang baru bangun dari tidurnya kepada seisi rumah.
“Pagi kak.” sapa Rena ceria yang
bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
“Tumben, berangkat sepagi ini dek?”
tanya kakaknya kepada Rena tapi tak dijawabnya.
“Katanya dia ingin naik bus aja
kalau berangkat ke sekolah pagi ini.” jawab ibu Rena “Sepertinya dia sudah
kembali ceria seperti dulu.” sambung ibu Rena lagi.
“Hmm... gitu ya.” angguk kakak Rena.
~o~
Tentu saja sekolahnya masih sepi,
yang ada hanya anak-anak OSIS yang mempersiapkan panggung buat lomba band
nanti. Melihat mereka yang lagi sibuk, Rena datang dengan niat tak mau
membantunya dan dia hanya ingin melihat temannya. Tapi ternyata yang dia cari
tidak ada, karena temannya belum datang. Melihat anak-anak OSIS yang sibuk,
Rena pun akhirnya membantu mereka.
“Makasih ya. Kamu telah membantu
kami menyiapkan semua ini.” kata ketua OSIS.
“Sama-sama.” jawab Rena tersenyum.
“Kamu Rena kan? Dari kelas XII eh...
maksudku kelas XI kan!”
“Yap! Why?”
“Jangan-jangan kamu ya yang dulu
sering bareng sama Kak Fadil?”
“Yap!”
“Eh... kalau ketemu dia titip salam
ya! Aku ngefans sama dia!”
“OK! Ntar aku sampein salam kakak.”
“Thanks
ya!” kata ketua OSIS mengakhiri pembicaraan. Dan Rena pun kembali bergabung
bersama teman-temannya yang sudah pada berangkat.
Jam delapan tepat acara sudah
dimulai. Para siswa sekolahan sudah banyak yang berangkat dan berkumpul di
depan panggung.
Acarapun berlangsung seru. Dalam
acara ini setiap kelas diwajibkan untuk menampilkan lagu-lagu minimal dua
peserta atau group band. Kebanyakan
dari mereka, enggak semua anggota satu group
band dari sekolahnya. So, banyak anak luar yang datang untuk ikut partisipasi
dan meramaikan acara ini.
Ditengah-tengah asyiknya acara,
keempat sahabat Rena saling berbisik. Tentu saja Rena bingung, tidak seperti
biasanya sahabat-sahabatnya seperti itu.
“Eh... ada apa sih kok pada
bisik-bisik sendiri?” tanya Rena.
“Nggak ada apa-apa kok ren!” jawab
Kana.
“Bener nih nggak ada apa-apa!” tanya
Rena meyakinkan.
Keempat sahabatnya pun langsung
terdiam. Tak lama kemudian Ami mengajak Rena ke suatu tempat yang tenang
diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Dan ditempat itulah seakan-akan Rena disidang
oleh sahabat-sahabatnya. Tentu saja hati Rena bertanya-tanya, sebenarnya ada
apa sih? Kok aku sampai dibawa ke sini segala?
Di tempat yang hijau dan dipenuhi
dengan bunga-bunga, disertai pepohonan yang rindang. Mereka duduk di kursi yang
telah disediakan oleh sekolahan dengan meja bundar sebagai pelengkap bagaikan
tatanan meja kursi yang ada di restaurant.
“Ren, benarkah kamu belum tahu
mengenai Fadil?” tanya Ami perlahan.
“Iya... bener kok! Ada apa sih?”
jawabnya.
“Padahalkan kamu teman dekatnya?
Masa sampai belum tahu hal ini sih?” tanya Ami lagi.
“Memang aku teman dekatnya! Ada hal
apa sih yang ingin kalian beritahukan kepadaku?” tanya Rena tegas.
Karena jawaban Rena yang meyakinkan,
sahabat-sahabatnya pun memberitahunya secara perlahan agar Rena tidak sakit
hati. Setelah mengetahuinya Rena sangat sedih. Rena meminta Ami untuk
mengantarkannya pulang ke rumah. Sebagai sahabat, Amipun mau mengantarkannya.
Baru aja sampai di pintu gerbang
utama, terlihat kakak Rena yang baru mau mencari Rena. Tanpa banyak tanya,
akhirnya Rena meminta kakaknya untuk mengantarkannya menemui Fadil. Dan
pergilah mereka berdua. Sementara Ami kembali bergabung dengan kawan-kawannya.
~o~
“Fadil, ayo! Jangan sampai
ketinggalan pesawat lho!” ajak Mama Fadil.
“Tapi, Ma! Fadill...” Fadil belum
selesai berbicara, Mamanya sudah memotong pembicaraannya.
“Kamu nunggu Rena kan?” tebak Mama
Fadil.
Fadil hanya mengangguk. “O... iya
Ma! Tunggu sebentar ada yang tertinggal nih di dalam rumah!”
“Ni kuncinya!”
“Makasih, Ma!”
Dengan segera Fadil masuk ke rumah
dan mencari barang yang ketinggal tadi. Setelah ketemu, barang itu ditaruh di
tempat dimana dulu ia dan Rena sering bermain bersama. Ia berharap agar Rena
segera menemukannya setelah ia pergi nanti.
~o~
Baru saja keluarga Fadil pergi, Rena
sudah sampai di rumahnya dan dicarinya Fadil. Apa yang ia temukan? Hanyalah
sebuah rumah tanpa penghuni lagi. Kemudian Rena teringat akan tempatnya bermain
dulu. Barangkali ia masih ada di sana. Pikirnya.
“Eh... Ren mau kemana?” tanya
kakaknya.
“Aku mau menemui Fadil kak!” jawab
Rena.
“Ikut kakak aja! Cepatlah!” aja
kakak Rena.
“Kemana kak?”
“Mengantar keluarga Fadil pergi!”
“Ah... aku ikut kak!” serunya
semangat, dan terpancarlah kembali senyuman Rena.
~o~
Di ruang tunggu, Fadil masih aja
menunggunya.
“Fadil, ada apa?” tanya Mamanya.
“Ma, bolehkah Fadil menunggunya
sebentar disini?” tanya Fadil pelan. “Rasanya kalau tidak mengucapkan
perpisahan padanya, aku merasa bersalah.”
“OK! Mama perbolehkan, asal jangan
sampai ketinggalan pesawat.” Jawab Mama.
“Benarkah! Makasih Ma.” seru Fadil
ceria.
Atas izin dari Mamanya, Fadilpun
menunggu sendirian di ruang tunggu.
“Aku harap kamu segera datang Ren!”
harap Fadil.
~o~
Diperjalanan kakak Rena mengendarai
motor dengan cepat. Untung aja jalanan yang dilewati adalah jalan tol, karena
hal ini dapat memperuntung mereka agar cepat sampai di bandara.
Sesampainya di bandara, Rena
langsung berlari masuk tanpa mempedulikan sekelilingnya. Setelah kakak Rena
memakirkan motornya, ia segera menyusul adiknya masuk ke dalam.
Fadil merasa tidak dapat menunggu
Rena lagi. Maka Fadilpun memutuskan untuk segera pergi tanpa berpamitan dengan
Rena. Baru berjalan beberapa langkah terdengar suara yang ia kenal dan
memanggilnya.
“Fadil!”
Fadilpun menoleh kebelakang.
Terlihat diantara orang-orang yang berjalan sesosok tubuh yang juga ia kenali.
Tak salah lagi, ini pasti Rena! Tebak Fadil.
“Fadiiiil!” teriak Rena lagi sambil berlari
ke arah Fadil.
“Rena!”
Dengan nafas terengah-engah,akhirnya
Rena sampai di depan Fadil.
“Hey... hosh... hosh... hosh...
hosh...! Kenapa sih? Kamu tak pernah sms aku lagi?” tanyanya terengah-engah.
“Kenapa juga kamu... nggak ngomong ke... aku, hosh... hosh... hosh... kalau
kamu mau pergi! Takut ya kalau aku marah tiba-tiba mendengar kamu berkata mau
pergi?”
“Bukan... bukan... maksudku begitu
Ren!” jelas Fadil.
“Hosh... hosh... hosh...” dengan
nafas masih terengah-engah, Rena berkata, “Padahal, aku akan lebih marah
lagi... jika kamu... heh... heh... tak berpamitan denganku!”
“Ren... maaf ya! Selama ini aku
nggak ngasih tahu ke kamu kalau aku mau kuliah dimana. Kuliah yang sebenarnya
benar-benar aku inginkan.” jelas Fadil.
“Nggak apa-apa kok kalau kamu nggak
ngasih tahu itu... hiks... hiks..”jawab Rena dengan mata tergenang. “Karena apa
hubungannya dengan ku, aku... kan... nggak bisa apa-apa...hiks... hiks...
kecuali memberimu semangat!”
Terdengar lagi sebuah peringatan
bawah lima menit lagi pesawat yang dinaikki Fadil akan berangkat.
“I
know it, Ren!” jawab Fadil. “Oleh karena itu, aku ingin kamu selalu ceria
tanpa aku disisimu, kamu juga harus lebih mengerti situasi sekitar tanpa aku.
Dan... aku juga ingin kamu tahu ini...”pesan Fadil.
Tanpa terasa air mata Rena mengalir.
“Ah... maaf, kenapa ya tiba-tiba...”
omongan Rena terhenti saat Fadil menghapus air matanya.
“Aku tahu, kalau aku bukanlah cinta
pertamamu. Aku merasa, lebih baik kita bersahabat saja sampai kapanpun.” kata
Fadil yang selama ini belum pernah ia ungkapkan meski menggunakan kata-kata
yang lain.
Rena menggelengkan kepalanya. “Kamu
salah Dil. Sebenarnya, sudah dari dulu aku menyukaimu. Hanya saja...” Rena
terdiam sebentar. “Dulu sewaktu aku mau main ke rumahmu, aku melihat kamu
dengan seorang cewek yang katanya kamu sangat menyukainya. Jadi... aku mereasa
kalau aku sangat mengganggumu. Dan aku memutuskan...”
“Memutuskan agar kita bersahabat dan
sebagai teman sejak kecilkan?” sambung Fadil.
Rena terkejut dengan kata-kata
Fadil.
Maaf ya, mungkin pada waktu itu aku
nggak mengetahuinya dan sekarang ini adalah pembalasan untukku. Mungkin...”
kata Fadil sambil memasuki pesawat.
“Renaaa! Teriak kakaknya yang dari
tadi mencarinya. “Ren!”
“Ok! Kalau itu memang maumi!” ucap
Rena lirih.
“Selamat
berjuang ya! Semoga kita bisa bertemu lagi!” teriaknya.
“Rena.”
Panggil kakaknya.
“Eh...
kakak!” sapanya. “Keluarga Fadil dah berangkat tuh! Ayo kita pulang ke rumah
kak!” ajak Rena.
Kakaknya
hanya mengangguk saja. Dia sekarang ini tak berani ngomong tenang Fadil. Takut
kalau hati adiknya akan bertambah sakit.
“Ayo,
kak!”
Sesampainya
di rumah, Rena langsung menuju ke tempat bermainnya Rena dan Fadil. Kenangan
masa lalu yang takkan pernah terlupakan. Di bawah pohon jambu yang rindang
dengan cabang-cabang yang mudah dipanjati dan dulu di salah satu cabang pohon
jambu pernah dibuatkan sebuah ayunan kecil dari ban truck untuk mereka berdua.
Tiba-tiba
Rena teringat akan masa kecilnya bersama Fadil. Pada waktu kecil Fadil pernah
menyembunyikan kalung manik-maniknya, dan Rena kebingungan dimana kalung itu
berada. Saat bertanya pada Fadil, Fadil malah tertawa. Hal ini membuat Rena
berprasangka bahwa Fadillah yang menyembunyikannya. Tetapi Fadil tetap juga
tidak mengakuinya. Sampai akhirnya Rena menangis dan Fadilpun mengakuinya
dimana ia menyembunyikan kalung manik-manik Rena.
Tadinya,
Rena hanya iseng-iseng aja menggali tanah di bawah pohon jambu dengan
tangannya. Kini ia menemukan sebuah amplop karya Fadil. Di ambilnya amplop
tersebut dan dibukanya. Di dalam amplop, Rena menemukan beberapa kenangan manis
baik sewaktu SD, SMP maupun SMA. Tak lupa selembar kertas berwarna biru
kesukaan Fadil yang tertulis suka dukanya untuk Rena.
Sambil
naik ke atas dahan pohon, Rena membaca isi surat dari Fadil.
Tak
lama kemudian sahabat-sahabat Rena datang. Tapi tidak ditemui Rena berada di
rumahnya, meski kakaknya tahu diman Rena berada.
Entah
kebetulan atau apa, mereka tepat berdiri di bawah pohon jambu yang dipanjati
Rena. Air mata Rena yang menetes, telah mengenai wajah Tahta. Disitulah mereka
menemukan Rena. Renapun turun dari pohon dan langsung memeluk Ami sebagai
tempat ia menangis. Para sahabatnya bahkan Tahta mengerti apa yang dialami Rena
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar